Rabu, 18 Januari 2017

Opera Van Gontor

Cover Buku 'Opera Van Gontor'
Shoot by Camera FV-5 Lite

Judul Buku :
Opera Van Gontor
Novel Kronik Dunia Pesantren

Penulis :
Amroeh Adiwijaya

Desain Sampul :
Aditya Dharma


Materi vector image
dari Shutterstocks.com

Cetakan Pertama Agustus 2010

PT. Gramedia Pustaka Utama

ISBN : 978-979-22-5997-1

***

Kesan yang ingin disampaikan
Bukan Sekadar Tampilan yang ingin ditampakkan

Sengaja, gambar cover tidak dipangkas. Biar sesuai aslinya, dari ponsel berupa e-book di aplikasi ipusnas. Perpustakaan Nasional dalam bentuk online.

Ketika membaca pada kata pengantar, jadi inget kalau sedang belajar cara menentukan judul. Senior dari grup nulis memberi saran. Sayangnya aku lupa dan tak memperhatikan. Teori yang kupikir terlalu sulit diejawantahkan *halah. Rupanya gelasku lebih tinggi dari teko*
Daku punya cara sendiri menentukan judul. Dengan mengingat kembali saat bikin konsep apa yang ingin ku tulis. Apa yang kupikirkan saat menuliskan karangan?
Hal yang terlupa bahwa judul itu sebenarnya sudah dipikirkan terlebih dulu.
Aku juga tau kalau orang membaca itu yang dilihat pertama kali adalah judul. Jadi, judul harus menarik minat orang untuk membaca. Begitu!

Ah! Sebenarnya aku sudah jengah. Terlampau ber-fiksi-ria dalam kehidupan. Padahal kan harusnya kita berdamai dengan kenyataan?!
Fiksi hanya sekadar selingan yang menghibur.
Hanya saja, ada pesan yang bisa disampaikan lewat cerita. Yang rasa- rasanya seolah tidak ada jalan lain untuk menyampaikannya.
Pesan yang tak sampai tanpa 'dibaca'.
Apalagi orang lebih suka melihat gambar daripada tulisan.
Bukankah alam ini lebih indah dari rangkaian kata-kata?
Dan lewat Sang Utusan kita bisa belajar bahwa kecerdasan tidak serta merta diraih dengan kata-kata yang tertulis. Melainkan Kalam yang merasuk dalam kalbu lewat lisan yang didengar.

Justru kemampuan ' membaca' yang harus kita ketahui. Dimana bacaan bukan berupa tulisan namun juga apa yang kita lihat dan dengar.
Kalaupun ada keistimewaan bagi mereka yang tak mampu melihat maupun mendengar maka masih punya hati untuk merasai.
Segumpal darah yang bernama hati ini yang harus dipertahankan kehidupannya. Harus selalu dalam keadaan bersih dan baik. Sehingga bisa memaknai kehadirannya di muka bumi.

Sempat terkecoh dengan genre novel untuk tulisan ini.
Selebihnya, ada yang mengganjal jika kenyataan yang dituliskan dalam novel ini punya potensi menimbulkan polemik.
Bukan rahasia lagi bagi penganut yang meyakini akan adanya hari akhir bahwa muncul tanda-tanda pendahuluan. Diantaranya Fitnah dimana propaganda berisi fakta yang diputarbalikkan sehingga kebenaran memudar, menurunnya tingkatan ilmu dengan wafatnya para ulama, juga kebathilan yang seolah dibiarkan meraja Lela.
Ketika Islam telah mencapai kejayaan maka surutnya bagai mentari yang tak terbit lagi. Memang, apa yang terjadi bila tidak ada esok hari?
Hari itulah seburuk-buruknya manusia yang menyaksikan, sebenar-benarnya saksi terjadinya kiamat.
Semoga kita semua terhindar dari Hari Akhir Zaman..
Maka Hari ini berupaya menjadi baik.

Seperti apa yang ingin disampaikan penulis 'Opera Van Gontor' yang sebelumnya berjudul 'Don't Cry For Me, Gontor!'
Yang katanya mengadopsi judul dari film 'Evita'
Koreksi yang disampaikan merupakan opini pribadi  Penulis sebagai alumni santri selama enam tahun di Gontor.
Bisa jadi penilaian itu punya perbedaan diantara santri yang lain.

Mikul Dhuwur Mendem Jero'
Ambil sisi baiknya dan sisi yang buruk..
Semoga yang buruk menjadi baik..
Harapan kita semua untuk Indonesia tercinta..
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar