Judul Buku : The Afghanistan Girl
Sebuah Memoar
Diterjemahkan dari :
The Other Side of The Sky
by Farah Ahmedi dan Tamim Anshary
Copyright 2005 by Nestegg Production LLC
All Right Reserved
Published by arrangement with the original publisher,
Simon Spotlight Entertainment, a Division of Simon & Schuster, Inc
Hak terjemahan Indonesia ada Penerbit Imania
Penerjemah : Dian Gucci
Desain Sampul : Reza Alfarabi
Desain Isi : Dini Handayani
ISBN : 978-602-95607-3-2
Didistribusikan oleh Mizan Media Utama [ MMU]
***
Sesudah deadline laporan IRC, semangat review malah menggebu...
Mungkin karena nggak ada hal mendesak yang ingin kukerjakan 0_o
Lebih baik nge-review dan meninggalkan naskah yang satu itu dalam masa yang belum dapat kutentukan[halah!** daripada pusing karena saking banyaknya yang ingin disampaikan. Uhg! Lagi-lagi aku terjebak pada jalan yang ringkas dengan banyak tujuan yang masing-masing bersekat serta berjauhan jaraknya. Sementara aku harus memperhitungkan waktu tempuhnya pula.. Oh My ALLAH! Betapa aku mempersulit diriku sendiri >_< Ooo At Me... that's Me! 0_o
Jika Keimanan Diuji
Senandung 'Perdamaian' milik Bimbo. Yang sering dilantunkan Nasyida-Ria diperdengarkan di radio maupun di masjid-masjid waktuku kecil dulu. Kemudian di-recycle oleh Gigi yang nge-rock. Sanepa, sindiran bagi lima Dewan Keamanan tetap Liga Bangsa Bangsa yang memiliki hak veto. Seolah mereka berhak menentukan nasib bangsa lain di penjuru dunia.
Memerangi sekaligus mendamaikan?
Merampas juga menyantuni?
Mungkin berniat menakuti dengan hiburan?
Membujuk disertai ancaman?
Atau...
Julukan yang lebih tepat adalah Serigala berbulu domba atau...
Bisa jadi
Nenek Sihir berubah wujud menjadi Peri!...
Bagai dua sisi mata uang yang memiliki nilai bila jadi satu...
Tapi
Apa semua hal bisa dibeli dengan uang???
Gambaran nyata dari sosok seorang Farah menegaskan hal tersebut. Farah menceritakan perjuangan hidupnya yang menjadi salah satu korban dalam peperangan.
Dia berasal dari daerah perang di Kabul menuju negeri damai berjuluk Amerika???
Sebuah Pilihan Atau Garis Hidup?
Di awal sekolahnya, Farah baru berumur enam tahun. Hari-hari cerah dengan sinar pengetahuan yang ingin selalu ia raup lebih banyak dan lebih lagi.... suatu kali harus dihempaskan tiba-tiba dengan deru api seolah menggerakkan bumi yang dipijaknya mengiringi dengungan dan cahaya yang menyilaukan matanya. Ia mengalami trauma saat berada di titik tertinggi dalam wahana permainan gondola. Mengingatkannnya pada waktu Farah tengah tergesa-gesa karena merasa terlambat masuk sekolah. Farah sengaja mengambil jalan pintas tanpa mengindahkan tanda peringatan dan teriakan orang-orang bahwa ia akan menuju bahaya. Yang Farah pikirkan hanya ingn segera sampai ke sekolah dan bertemu gurunya untuk mendengar uraian ilmu darinya. Terlambat untuk menyadari kalau yang dilewatinya adalah kawasan ranjau darat untuk menghalau pasukan pemberontak.
Trenyuh dengan kisah yang disampaikan Farah bagaimana ia membuka mata saat siuman setelah terkena ranjau. Tidak mampu bangun, tak mampu berlari dari hadapan orang-orang dengan tatapan yang membuatnya bingung hingga seseorang menyelimutinya dengan patoo, syal lebar yang disampirkan di bahu untuk menghangatkan diri, lalu memanggil keluarganya dimana hanya sang ibu yang bisa mendampinginya menuju rumah sakit.
Halaman 73-75. Di bagian ini aku menahan hati! Kesal! Mengaku kalah!
Wahai! Muslim yang berhak memilki pengetahuan! Tapi tak mampu menangani kasus luka yang dialami Farah dan menyerahkannya pada dokter Jerman? Perang, pemblokiran mempersulit kesediaan kebutuhan. Seperti memilih kambing untuk digembalakan, Farah dengan lukanya yang parah dibawa ke Jerman.
Perbedaan fasilitas pelayanan Rumah Sakit di Afghanistan dengan Jerman membuat Farah yang menjalani operasi amputasi kaki kiri dan rehabilitasi selama kurang lebih dua tahun jadi enggan pulang ke negerinya.
Kesendiriannya mengalahkan kenyamanannya di negeri orang. Farah pulang karena sangat rindu dengan keluarganya. Namun tidak seberapa lama berkumpul dan menentukan masa depannya, Farah kehilangan keluarganya. Ayahnya dan saudara-saudaranya.
Farah terlunta-lunta bersama ibunya dan pengungsi lain tanpa memiliki rumah dan tanah yang hancur lebur susah payah keluar dari Afghanistan menuju pengungsian terdekat, Pakistan. Dalam keterbatasannya, Farah menanggung biaya pengobatan ibunya yang terkena asma.
Tidak tahan dengan situasi yang berkecamuk, Farah memutuskan mengikuti kualifikasi yang akan mengeluarkan seribu orang pengungsi dari Pakistan untuk dibawa ke Amerika. Farah masih buta huruf sehingga hanya mengetahuinya dari berita yang disampaikan orang-orang. Setibanya disana, Farah tidak perlu bekerja keras membanting tulang untuk penghidupannya. Farah malah diharuskan untuk bersekolah. Ia baru tahu kemudian dengan apa yang telah ia peroleh bahwa yang membawanya ke Amerika adalah World Relief, organisasi Kristen swasta.
Akhirnya Farah menyadari dirinya adalah seorang Afganisthan yang telah membentuk menjadi dirinya dan tidak akan mengingkarinya. Hal yang belum berakhir baginya akan diisinya dengan yang lebih baik.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar