Kamis, 08 Januari 2015

De Winst



Judul Buku : De Winst

 Penulis : Afifah Afra

Editor : Khalatu Zahya

Setting : UDInurCHE

Ilustrasi : UDInur- Andhi - NasSPur

Desain Sampul : Andhi Rasydan

 Cetakan Pertama : Muharam 1429 H/ Januari 2008
Cetakan Kedua : Rabiul Tsani 1429 H/  April 2008
Cetakan Ketiga : Muharam 1431 H/ Januari 2010

 336 hlm: 20,5cm

ISBN : 978-979-1397-26-1

Penerbit : Afra Publishing
Kelompok Penerbit
 +Indiva Media Kreasi


Maca Kahanan

Tepat sekali, saat kuingin me-review De Winst, lewat email yahoo mendapati pengumuman kelas menulis Indiva:
 Reward "PEMBACA SETIA AFIFAH AFRA"
Jadi sekalian ajah, sekali dayung dua pulau terlampaui di usia nama pena 'AFra' yang ke 18 tahun...   بارکالله 
 0_o

Suatu kali...Ehm? Kesekian kali, sahabatku meminta penilaianku [maksudnya temen-temennya] tentang dia. Apa kelebihannya, kekurangannya, apa yang disukai atau sebaliknya, dan pertanyaaan lain lagi mengenai dirinya.
Iya, wajar menurutku! Kita butuh bantuan orang lain untuk melihat ke diri kita dari pandangan mereka. Setidaknya penilaian obyektif yang bersifat konstruktif, tentu saja!
Yang nggak wajar jika apa yang disampaikan mengenai pertanyaannya kemudian disangkal alias tidak terima mengenai penilaian orang lain tentangnya.
Lalu, buat apa dia bertanya?
Kalau tidak siap dengan segala macam jawaban... buat apa bertanya?
Sama saja tidak mau belajar dan menipu diri sendiri [eh???] Iyah, berarti  tujuan pertanyaannya bukan untuk memperbaiki diri.

Tapi...
Tapi sikap yang demikian enggak mungkin akan diambil mbak + Afra  kan ya?*kedip-kedip mata**
Pastinya, kritik, saran, apapun akan diterima dengan lapang dada bahkan samudra raya dihampar luas ke hati***
Nyadar juga bahwa aku nggak mungkin me-review dengan bahasa ilmiah meski berusaha belajar untuk itu. Jadi, apa yang kukuasai aja dan bukan menilai... tapi belajar dari sebuah karya yang kubaca.

Sekilas Tentang Karya Mbak Afra

Kuakui tidak membaca seluruh karya mbak Afra. Ada Gizone dulu[kenapa baru kenal lalu majalah ini berakhir penerbitannya T_T. Sesekali menyempatkan blogwalking, itupun link yang di-share mbak Afra melalui akun FB.
Pernah suatu kali mbak Afra share di kelas menulis online  dan aku ngasih rasa yang pedas. Mungkin nggak terlalu pedas karena ia mengaku suka yang pedas-pedas. Maklum, saat itu harga lombok mahal. [eh?]Alhamdulillah sampai hari ini aku bikin draft  ini juga masih mahal, khususnya lombok galak[= aku menyebutnya demikian bukan syaithonirojiim] yang di pasar Ampel sini satu ons mencapai sepuluhribu rupiah. Lombok ini super pedas. Memang saat mudanya yang putih kehijauan itu tidak pedas dan cenderung semriwing dan kalah pedas dengan si rawit hijau. Kalau sudah semburat oranye maka pedasnya baru terasa. Si rawit hijau sesuai untuk lalapan temannya gorengan dan acar atau diiiris tipis untuk pelengkap sambel kacang sate ayam kalau sudah merah akan kalah pedas dengan lombok galak. Lagian, lombok galak warnanya lebih eksotik dan menggiurkan kalau untuk sambel uleg atau cemplungin utuh untuk oseng. Lain lagi pedasnya lombok melintir hijau dan merah sebagai pemanis mie atau nasgor bila diiris tipis dan nikmat untuk bumbu oseng. Namun lombok jerobong besar hanya sedap sebagai bumbu sambel goreng dan garnis.
Dan selera itu, akhirnya aku serahkan pada yang butuh kepedasan itu sendiri ***He.. he.. he..
Kalau pembaca bingung dengan ungkapan diatas, tolong mafhum karena saya mengetahui 'note' dari seorang senior bahwa mbak Afra itu 'complicated'... jadi aku belajar darinya ^_^ Semoga berhasil! [Ups] padahal intermezo doang
0_o

Karya yang  berhasil itu 'yang bukan sekedar ngiming-imingin anak kecil makan es krim biar mau makan dan nggak jadi atau es krimnya jadi hambar karena sudah kekenyangan' ternyata di kemudian hari aku temukan di Edisi spesial majalah Hadila berjudul 'Sandal Jepit Presiden'. Cerpen yang menceritakan seorang presiden negeri termakmur dengan sandal jepitnya. Aku sempet meminta Masku untuk membaca tapi tak kudapatkan penilaiannya. Tapi menurutku, cerpen ini mencerminkan seorang penguasa dengan segala yang diperolehnya semasa menjabat hanya memperhitungkan penilaian orang mengenai tampilan bukan tugas utama sebagai kepala pelayan yang melayani urusan rakyat yang diwakili oleh kehadiran sepasang sandal jepit. Boleh jadi, sandal jepit bisa dimodifikasi menjadi lebih stylish dan modis tapi kepentingan rakyat bukan jaminan memperoleh kedudukan dan posisi yang nyaman. Auw! Mungkin karena penulisnya memang suka pakai sandal jepit 0_0

Idealisme Dalam Cerita

  • Tahun 2014 lalu,  aku sanggup melahap sekian buku. Demi mencapai target 70 buku pertahun.
Kira-kira enam buku sebulan! Berhasil? *garuk2** kalau masalah bacaan mah lebih, tuh.. tapi dalam bentuk buku emang nggak sampai segitu. Diselingi buletin bulanan juga koran dan majalah bekas yang sengaja kusortir untuk pembuatan kliping.. Sayang banget kalau majalah bekas itu dijual atau buat bungkus sedangkan ada di dalamnya artikel-artikel penting. Dan ini masalah idealisme!

Jiahh... seberapa kupahami makna idealisme yang menjadi jargon buku ini ketika membelinya...
Padahal, sebelumnya aku ke stan Indiva di Pameran Buku Murah pingin beli karya mbak Afra yang berjudul 'Diva'
Ah, aku lupa darimana mendapatkan info tentang judul buku tersebut. Yang pasti judul itu ada dalam list pembelianku. Aku hanya berusaha realistis dengan pilihan buku yang tersedia disana. Diantara judul yang kuminati ternyata berupa antologi dan berseri! Realistis lagi karena dana hanya untuk satu buku diantara sekian judul.. Nah lho! Antologi aku sudah punya. Yang kuinginkan judul dari karya mbak Afra seorang dan satupun belum punya. Akhirnya kuputuskan ambil seri pertama dari Trilogi De Winst.  Setelah menyelesaikan bacaan ini,  bukan bearti aku melupakan seri berikutnya yang bikin aku penasaran.  Kata Senior juga menyarankan padaku untuk mengenal tulisan bacaan lebih banyak dan beragam, jadi... kalaupun aku malah membeli buku yang lain lagi? Itu masalah idealisme kali, ya 0_o


  • De Winst mengisahkan Rangga Puruhita Suryanegara, seorang bangsawan keraton lulusan Universitas Leiden, memilih pulang ke negerinya atas permintaan ayahandanya.
Dalam perjalanan pulangnya ke tanah air  bertemu dengan Everdeen Kareen Spinoza [Aish, kenapa aku menemukan nama Karin lagi di sini? 0_o  Noni Belanda yang berencana merintis kantor hukum di Bandung dimana ia bertindak sebagai advocaat. Bisa ditebak kan pertemuan mengesankan  antara sepasang dua insan yang berlainan jenis...
Pertemuan berikutnya dengan seorang pemuda bernama Kresna. Yang menurutnya arogan, congkak, dan tidak punya adat sopan santun sehingga membuatnya kesal tiap kali bertemu.
Selain Everdeen Spinoza, Rangga terkagum-kagum dengan sosok wanita bernama Pratiwi yang masih muda namun cerdas dan berani.
Ditambah lagi dengan kekagetannya atas sikap Sekar Prembayun, gadis yang dijodohkan dengannya sewaktu masih kanak-kanak. Semula Rangga mengira bahwa Sekar Prembayun yang seorang putri keraton itu berwatak lemah lembut dan memiliki trapsila. Jauh dari penalaran Rangga mengetahui tunangannya itu dengan terang-terangan berkata 'Tidak!' untuk suatu hal yang memang tak disukainya. Hal yang belum sanggup dilakukannya.
Wajar kalau Rangga punya spekulasi mengenai hubungan diantara Kresna, Sekar Prembayun, dan Pratiwi. Rangga melupakan Jatmiko, lelaki berwajah penuh kabut yang bisa jadi seusia Rangga namun terlihat tampak lebih tua dari usianya yang sebenarnya merupakan orang yang berpengaruh dalam pemikiran tunangannya tersebut.
  • Banyak kejutan dalam cerita De Winst yang menarik untuk diikuti hingga akhir.
Penulis cukup cerdik dengan menyembunyikan keluarga kebangsawanan Rangga. Tidak disebutkan Suryanegara, ayah Rangga dan Suryakusuma, ayah Sekar Prembayun yang kakak beradik itu keturunan Sinuwun Pakubuwono yang keberapa. Hanya dikisahkan waktu Rangga berjalan-jalan mengitari kota Solo pada awal-awal ia menginjakkan kaki ke kota itu kembali, sepulang dari Belanda bahwa kemajuan pembangunan oleh Sinuhun Pakubuwono X. Iya...
Memang di halaman berikutnya; halaman 136, 151 menegaskan bahwa Eyang Rangga dan Sekar adalah Pakubuwono X [Jadi malu *_^  Kalau mau me-review harus baca ulang. Ah, soal sebenarnya karena aku nggak langsung review dulu alias kurang fokus dan nggak sekalian nuntasin bacaan.

  • Karena aku bukan orang yang pernah tinggal di kraton pada jaman dulu tentu tidak mengetahui  kalau penghuni kraton akan berbahasa krama inggil dengan putranya atau orang yang lebih muda tapi  kepada yang berpangkat lebih tinggi.
Yang aku tahu dari pelajaran di Sekolah Dasar dan SMP [karena SMA sudah tidak ada pelajran bahasa Jawa]  bahwa krama inggil hanya ditujukan pada orang muda kepada yang lebih tua atau yang lebih tinggi pangkatnya.
Percakapan Rangga dengan Ibunya terasa kurang pas menurutku [halaman 43]. Apalagi kata 'neda' yang berarti makan [halaman 45] yang tak lazim digunakan dalam bahasa kraton.
Sepengetahuanku 'neda' adalah bahasa dusun.
Yang lebih tepat 'Maem' jika disesuaikan dengan kedudukan ibu kepada anaknya yaitu dengan basa ngoko alus atau 'Dhahar' jika si anak menjadi raja jadi dihormati karena kedudukannya. Kata' Dhahar' itupun jika Ibu dari sang raja memberi perintah kepada dayang istana untuk menjamu makan anaknya yang jadi raja. Semisal:

"Ayo, Kanjeng Sinuwun enggal diaturi 'dhahar', Mbok!"
Jadi, mungkin yang lebih tepat untuk dialog di halaman 45:
 "Yo wis ndang, Ma'em kana!"

Ngoko alus digunakan kepada sesama[sejawat] atau ingin membahasakan yang dihormati.

  • Juga ada kesalahan penulisan pada buku untuk bab Dua Puluh Dua yang tertulis 'Puluh Dua' [halaman 312]
  • Dan di halaman 62, aku jadi membenarkan kalau Mataram [cikal bakal Surakarta] sebenarnya terpecah menjadi empat bagian [catur sagatra].

Sesuai dengan jargon buku ini' Sebuah Novel Pembangkit Idealisme'
Idealisme yang aku ketahui artinya dalam wikipedia...
Semoga karya mbak Afra  menjadi idealisme dalam sastra yang aktif. Yang bisa menjadi inspirasi dan bisa terealisasikan dalam dunia nyata bukan sekedar dalam cerita. Dan bukan hanya teori utopis belaka.

  • Menyoal sosok Sekar Prembayun. Mungkinkah sosok ideal wanita? 
Aku jadi mengira-ngira siapa aktris yang pantas memerankannya di layar kaca? Tidak mungkin juara turnamen pacuan kuda yang mantan model meskipun keturunan Jawa tapi punya blasteran Jerman, Larasati. Sekarang pun kebanyakan aktris berwajah indo, jadi gampang kalo nyari pemeran Kareen Spinoza. Atau yang jago silat Ayuni Sukarman itu? Atau aktris jaman dulu semisal Ely Ermawati, Fitria Anwar, atau Murti Sari Dewi? Ochi Rosdiana barangkali? Siapa? Aih! Mana mungkin aku, kan kita baru saja ketemuan tahun kemarin[halah] Menatap Mbak Afra penuh tanya 0_o

***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar